BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Budaya Jawa
Mataraman
Kebudayaan
dan adat istiadat Suku Jawa di Jawa Timur bagian barat menerima banyak pengaruh
dari Jawa Tengahan, sehingga kawasan ini dikenal sebagai Mataraman;
menunjukkan bahwa kawasan tersebut dulunya merupakan daerah kekuasaan
Kesultanan Mataram. Masyarakat Jawa Mataraman memiliki produk kebudayaan yang
tidak jauh berbeda dari komunitas Jawa yang tinggal di Surakarta dan
Yogyakarta. Masyarakat Jawa Mataraman mempunyai pola kehidupan sehari-hari
sebagaimana pola kehidupan orang Jawa pada umunya. Tlatah ini dapat dibedakan
lagi ke dalam subwilayah kebudayaan yang lebih kecil. Budayawan Dwi Cahyono
membaginya menjadi Mataraman Kulon (Barat),Mataraman Wetan (Timur), dan
Mataraman Pesisir. Pembagian ini didasarkan pada jejak sejarah dan budaya lokal
yang berkembang di sana. Bahasa menjadi ciri yang paling mudah untuk membedakan
ketiganya. Dari segi kedekatan budayanya dengan Jawa Tengah, Mataram Kulon
lebih kuat. Bahasa sehari-hari yang digunakan lebih halus dibandingkan Mataram
Wetan. Wilayahnya merupakan bekas Keresidenan Madiun. Masyarakat Jawa Mataraman
ini pada umumnya masyarakat yang tinggal di wilayah Kabupaten Ngawi, Kabupaten
dan Kota Madiun, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Magetan, Kabupaten dan Kota
Kediri, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten dan Kota Blitar,
Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tuban, Kabupaten Lamongan, dan Kabupaten
Bojonegoro.
2.2. Kesenian
khas
Di daerah
Mataraman, kesenian Jawa Tengahan seperti ketoprak dan wayang kulit cukup
populer. Legenda terkenal dari Jawa Timur antara lain Damarwulan dan Angling
Darma. Kebudayaan dan adat istiadat Suku Jawa di Jawa Timur bagian barat
menerima banyak pengaruh dari Jawa Tengahan, sehingga kawasan ini dikenal
sebagai Mataraman yang berarti bahwa kawasan tersebut dulunya merupakan
daerah kekuasaan Kesultanan Mataram. Sedangkan selera
berkesenian masyarakat ini sama dengan selera berkesenian masyarakat Jawa pada
umumnya. Dalam masyarakat Jawa Mataraman ini banyak jenis kesenian seperti ketoprak,
wayang purwa, campur sari, tayub, wayang orang, dan berbagai tari yang
berkaitdengan keraton seperti tari Bedoyo Keraton.
2.3 Adat
Istiadat
Masyarakat desa di Jawa Timur, seperti halnya
di Jawa Tengah, memiliki ikatan yang berdasarkan persahabatan dan teritorial.
Berbagai upacara adat yang diselenggarakan antara lain: tingkepan (upacara usia
kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama), babaran (upacara menjelang lahirnya
bayi), sepasaran (upacara setelah bayi berusia lima hari), pitonan (upacara
setelah bayi berusia tujuh bulan), sunatan, pacangan. Penduduk Jawa Timur
umumnya menganut perkawinan monogami. Sebelum dilakukan lamaran, pihak laki-laki
melakukan acara nako’ake (menanyakan apakah si gadis sudah memiliki calon
suami), setelah itu dilakukan peningsetan (lamaran). Upacara perkawinan
didahului dengan acara temu atau kepanggih. Masyarakat di pesisir barat: Tuban,
Lamongan, Gresik, bahkan Bojonegoro memiliki kebiasaan lumrah keluarga wanita
melamar pria, berbeda dengan lazimnya kebiasaan daerah lain di Indonesia,
dimana pihak pria melamar wanita. Dan umumnya pria selanjutnya akan masuk ke
dalam keluarga wanita. Untuk mendoakan orang yang telah meninggal, biasanya
pihak keluarga melakukan kirim donga pada hari ke-1,
ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, 1 tahun, dan 3 tahun setelah kematian.
2.4. Tradisi Politik
Ciri sosial dan budaya juga berpengaruh terhadap tradisi politiknya.
Pengaplingan politik berlaku pula di sini. Masyarakat di tlatah Mataraman
dari sejak 1955 hingga 2004 selalu ”loyal” kepada partai-partai nasionalis.
Orang Mataraman tidak suka yang mencolok-colok, misalnya Islam yang
terlaluIslam itu tidak suka karena dianggap tidak nasionalis. Jadi,
partai-partai yang berlabelnasionalis akan laku di masyarakat jawa
Mataraman.Sebaliknya, mayoritas masyarakat di tlatah Madura dan Pandalungan
lebih loyalkepada pada partai yang berbasis massa Islam Nahdlatul Ulama,
seperti Partai KebangkitanBangsa. Ulama dan kiai masih menjadi tokoh
panutan di sana. Pengaruhnya pun ikutmerambah ke ranah pilihan politik
warganya.
Dengan demikian, ”kuali peleburan” telah membentuk Jatim menjadi unik. Menjadikannya
berbeda dengan saudara Jawa lainnya, Jawa Tengah maupun Jawa Barat. Baik sisi
budaya maupun politiknya.
2.5. Sistem Sosial
Masyarakat Jawa Mataraman memiliki produk kebudayaan yang tidak jauh
berbedadari komunitas Jawa yang tinggal di Surakarta dan Yogyakarta. Masyarakat
Jawa Mataraman mempunyai pola kehidupan sehari-hari sebagaimana pola kehidupan
orang Jawa pada umunya. Pola bahasa Jawa yang digunakan, meskipun tidak sehalus
masyarakat Surakarta dan Yogyakarta, mendekati kehalusan dengan masyarakat Jawa
yang terpengaruh kerajaan Mataram di Yogyakarta. Di jawa timur bahasa yang
digunakan yaitu bahasa jawa namun bahasa jawa yangdigunakan di Jawa Timur
memiliki beberapa dialek/logat. Di daerah Mataraman (eks-Karesidenan Madiun dan
Kediri), Bahasa Jawa yang digunakan hampir sama dengan Bahasa Jawa Tengahan
(Bahasa Jawa Solo-an). Bahasa Jawa yang cukup berbeda dengan dialek standar
bahasa Jawa ("dialek Mataraman") dan dijuluki "bahasa
ngapak" karena ciri khas bunyi /k/ yang dibaca penuh pada akhir kata
(berbeda dengan dialek Mataraman yang dibaca sebagai glottal stop).
Contoh bahasa pada masyarakat jawa mataraman, istilah "sira"
dalam bahasa Mataraman menunjukkan posisi paling rendah di bawah
"panjenengan" atau "paduka". Kata "isun"
menunjukkan derajat tertinggi, yang bisa menggunakan "isun"
hanyaraja. Di daerah pesisir utara bagian barat (Tuban dan Bojonegoro),
dialek Bahasa Jawa yang digunakan mirip dengan yang dituturkan di daerah
Blora-Rembang di Jawa Tengah. Begitu pula pola cocok tanam dan sistem sosial
yang dianut sebagaimana pola masyarakat Surakarta dan Yogyakarta. Pola cocok
tanam dan pola hidup di pedalaman Jawa Timur, disebagian besar, memberi warna
budaya Mataraman tersendiri bagi masyarakat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar